Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sering Baca Buku Bukan Berarti Semakin Pintar


Banyak dari kita yang sudah mengetahui bahwa tingkat literasi Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain sungguh memprihatinkan. Tentu baik pemerintah maupun masyarakat sudah tau akan hal ini dan berusaha untuk mengatasinya. Namun, ada banyak factor yang mempengaruhi hal ini. Beberapa tahun terakhir gerakan untuk melek literasi mulai digalakkan kembali. Pojok literasi yang digencarkan baik di ranah keluarga, sekolah dan masyarakat mulai dikembangkan. Masyarakat pun ikut bahu membahu dengan menyumbangkan beberapa buku milikinya untuk dapat idbaca bersama.
Ada hal yang perlu menjadi perhatian kita semua, terutama bagi para mahasiswa. Literasi memang harus bersahabat dengan mahasiswa kalau tidak maka mahasiswa hanya dicap sebagai tong kosong nyaring bunyinya. Ngomongin aksi tapi kagak ada landasan yang jelas, remahan doang itu mah.
Saya bukan orang yang suka membaca roman picisan ataupun hal berbau barat seperti filsafat, hukum dan kedokteran serta lainnya. Tapi kadang saya juga greget sendiri kalau ada rekan mahasiswa yang emang giat membaca, tapi justru karena bacaannya banyak, ia jadi lebih sering menghakimi pendapat orang lain yang tidak sesuai dengan literature yang ia baca. Ada kasus yang terjadi ketika sebuah diskusi mengenai suatu topic, kemudian kawan berlabel “mahasiswa” bertanya dan ternyata pertanyaannya tidak sesuai dengan topic, sudah keluar pembahasan. Sudah jelas batasan tema yang diberikan, tapi ya mungkin karena memang pengetahuannya banyak karena telah mentadabburi banyak buku, ia berusaha membuat dirinya terlihat pintar dengan sok mengaitkan topic yng sungguh tidak ada relevansinya sama sekali. Aneh bin ajaib ini mah.
Baca buku dikenal sebagai sarana penambah wawasan pengetahuan dan kelimuan yang cukup efektif. Namun bukan berarti dengan membaca buku secara kuantitaif dapat membuat kita seribu langkah menjadi sok pintar, keliru gaes. Banyak membaca berarti membuat kita mengerti ada banyak cara pandang yang diambil, ada variasi sumber terverifikasi yang masih bisa diuji, serta ada banyak ilmu yang masih harus dikaji. Bukan malah membuat kita semakin merasa tinggi hati apalagi buat pamer diri dih hadapan doi, hehe.
Miskonsepsi yang salah seringkali ditemui di masyarakat, dalam hal ini saya berusaha untuk mengingatkan rekan sejawat mahasiswa agar tidak salah jalan dalam ber-literasi. Beberapa miskonsepsi tersebut adalah
Aktif membaca vs membaca aktif
 Dua hal ini sering dikatakan sama makna oleh banyak pihak, padahal dalam realitanya bertolak belakang. Aktif membaca berarti membaca banyak tulisan, banya sudut pandang, beratus pelajaran/hikmah. Bagus sih cuma ada yang kurang, ibarat nggak ada kata “kita” tanpa kamu di satu sisi, kurang mblo. Sedangkan membaca aktif berarti mempertanyakan argument yang ada, berusaha mengaitkan dengan kondisi realita yang ada, mengandung beratus jawaban, dan melahirkan ribuan pertanyaan serta interpretasi yang harus dikekang batasan.
Kemampuan membaca dan kemampuan menulis adalah hal yang berbeda
Terkadang sering  kita jumpai orang bahkan mahasiswa yang bilang sering baca buku tapi ketika dihadapkan sebuah tantangan untuk menulis baik dari hal yang kecil seperti makalah ataupun untuk mengungkap interpretasinya terhadap buku yang ia baca masih nihil sekali. Padahal orang yang sering membaca buku berarti ia menjumpai beragam kata yang berbeda makna baik leksikal maupun makna lainnya. Ia juga menemukan variasi sudut pandang yang berbeda. Dengan demikian, eksplorasi dan pemahamanya atas suatu hal seharusnya dapat ia tuangkan dalam sebuah tulisan yang berbobot. So, dipastikan kemampuan membaca dan kemampuan menulis adalah satu hal yang berkaitan dan sejalan satu sama lain.
Baca Buku Banyak Bikin Punya Kuasa Atas Pendapat Orang Lain
Beredarnya banyak tulisan dan kajian terhadap beragam isu dan pengetahuan membuat ratusan tfasiran yang berbeda. Hal ini dapat memicu perdebatan yang lumayan serius bahkan bisa ke tingkat seperti perkelahian di masyarakat. Perdebatan bukan pada batas siapa benar dan siapa salah. Namun, debat adalah suatu forum diskusi mana pilihan yang bisa membuat perubahan lebih baik baik dari satu sisi maupun integrasi dari kedua sisi.
Kalau di lingkup kampus, seringkali mahasiswa bertanya kepada presentator terkait hal yang bertentangan dengan pendapatnya, mojokke konco dewe. Seringkali kelakuan mahasiswa satu ini agar mendapat nilai yang memuaskan dari dosen, bulshit sekali lah. Ayolah kawan intelektual ku, kritis boleh, gobloknya jangan.
Belajar Untuk Mengetahui
Dulu sewaktu saya masih SMP dan SMA, saya acap kali mencomot beberapa buku untuk saya baca tanpa saya telaah  lebih dalam. Saat mengingat hal tersebut, terkadang saya malu sendiri, kok ya saya aneh sekali. Kayak cuma liat permukaan aja, tanpa tau ada apa didalamnya dan apa korelasinya ke berbagai bidang. Belajar untuk mengetahui adalah level paling dasar dalam membaca. Adapun membaca untuk dapat memahami kemudian dapat menafsirkan kembali bahkan bisa membuat kritikan dan saran berdasarkan fakta yang membangun adalah hal yang berbeda. Dan saya masih proses belajar dalam level tersebut.

Tulisan ini saya tulis dalam rangka mengingatkan saya ketika rasa sombong dan bodoh sudah dating menghampiri saya kembali. Tak terasa sudah mencapai hampir lebih dari 800 kata saya menuliskan kegalauan atas apa yang terjadi pada saya dan realita literasi saat ini.  Mungkin sekian apa yang bisa saya sambatkan hari ini, lain kali kita sambung kembali. Oh ya, sebenarnya tulisan ini saya dedikasikan untuk Hari Buku Nasional pada tanggal 23 April kemarin, tapi entahlah ternyata wacana tersebut baru terlaksana pada hari ini. Its fine, still I love all of you J
Hand drawn world book day concept Free Vector
Salam Literasi, Salam Pengembangan Diri!

Posting Komentar untuk "Sering Baca Buku Bukan Berarti Semakin Pintar"