KARANTINA: BELAJAR KEHIDUPAN MARYAM BINTI IMRON
Beberapa
hari ini bahkan sudah berminggu-minggu kita telah mengalami yang namanya social
distancing yang kemudian diubah namanya menjadi physical distancing. Konsep
ini dikeluarkan oleh pemerintah dalam menangani pandemi yang sedang terjadi
saat ini yaitu Covid-19. Perubahan nama dari Social menjadi physical
dimaksudkan untuk menjawab berbagai masaalh yang timbul yaitu mulai hilangnya
rasa kemanusian pada diri sendiri sehingga terlalu parno untuk bertemu orang
lain, munculnya rasa curiga, dll.
Sebenarnya
tulisan ini tidak bermaksud serius, tapi yah terbawa suasana dalam penulisan. Dalam
mendukung physical distancing yang digadang-gadang oleh pemerintah dalam
memutus mata rantai corona virus, disebutlah karantina pribadi, karantina
wilayah. Nah apa sih yang dimaksud dengan karantina? Seperti yang dikutip dari www.alodokter.com karantina berarti
memisahkan dan membatasi kegiatan orang yang sudah terpapar virus Corona namun
belum menunjukkan gejala.
Setelah
paparan definisi mengenai karantina, saya yang sudah menjalani karantina selama
hampir 2 bulan ini cukup bosan dengan rutinitas dan pemandangan yang selalu
terjadi di depan mata. Tapi setelah menyadari bahwa ternyata ada yang lebih
hebat dalam melakukan “karantina” pribadi dalam rangka ingin mendekatkan diri
kepada Allah, saya mulai menata hati kembali. Maryam binti Imran adalah orang
yang telah menjalani “karantina” selama bertahun-tahun. Sebenarnya tidak
sopan mengaitkan karantina yang sekarang dipahami orang dengan “karantina” yang
dijalani oleh Ibunda Maryam. Satu kata namun berbeda arti. Namun, saya hanya
ingin membuat sebuah perenungan terkait karantina yang kita lakukan dengan karantina yang Ibunda Maryam lakukan.
Selama
2 bulan ini, saya Alhamdulillah merasa kebutuhan saya selalu dicukupi
oleh Allah. Baik dalam hal makanan, pakaian,
kebutuhan sekolah, akses ibadah, dll. Padahal saya merasa saya bukan orang yang
selalu berdoa. Kemudian saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan ini
merupakan latihan “karantina” yang dilakukan oleh Maryam.
Maryam
dan Mihrabnya
Maryam
ketika berusia lima tahun diserahkan ke haikal (rumah Allah) dimana Maryam
sudah dinadzarkan akan menjadi pelayan yang berkhidmat melayani keperluan di
rumah Allah. Dikarenakan ayah Maryam telah meninggal dunia, maka harus ada yang
mengurusinya selama di haikal. Kemudian terpilihlah Zakariyya melalui sebuah
pengundian. Maryam kecil yang sudah tumbuh dewasa selalu tinggal di mihrab. Dimana
dalam mihrab tersebut, ia senantiasa selalu beribadah kepada Allah dan nyaris
tidak pernah keluar dari tempat itu. Zakariyya yang selalu mengunjungi dan
mengawasi Maryan merasa aneh karena selalu mendapatkan makanan di dekat Maryam.
Ketika ia menanyakan perihal asa makanan tersebut, Maryam menjawab “ Makanan
itu berasal dari hadapa Allah. Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa
yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Ali-Imran: 37)
“Karantina”
ala Maryam
Ketika
teringat kisah seperti yang saya rangkum di atas, saya menyadari bahwa selama
ini saya telah melakukan kegiatan “karantina” yang dilakukan oleh Maryam. Kenapa
saya merasa demikian? Selama saya melakukan karantina, banyak makanan selalu datang
ke rumah kami, ketika saya ingin merasakan buah, tiba-tiba ayah saya pulang
dengan membawa duku, pepaya. Ketika paket internet saya habis, ayah saya muncul
dengan memberikan selembar uang yang cukup untuk membeli kuota sesuai yang saya
butuhkan. Bahkan ketika saya merasa otak saya butuh pencerahan, karena kurangnya
asupan ilmu, muncul rentetan broadcast yang menawarkan kajian keilmuan
baik dalam forum diskusi maupun seminar online dalam beragam media.
Maka
nikmat manakah yang engkau dustakan?
Kalimat
tersebut sangat cocok sekali ketika saya mengeluh pada suatu waktu. Padahal bila kita mengaitkan kegiatan yang Maryam lakukan dengan yang kita lakukan adalah sama-sama diberi waktu untuk beribadah kepada-Nya. usdhakah kita melakukannya, atau malah kita kufur atas nikmat waktu luang yang telah diberikan kepada kita? selama wabah ini masih bertengger di negara kita, apakah kita pernah sekarat karena belum makan seharian seperti yang dialami oleh saudara kita yang kurang beruntung? dengan segala nikmat kecukupan apakah kita sudah membayar dengan harga yang pantas dengan bersyukur dan selalu sholat tepat pada waktunya?
Belajar
Mensyukuri Nikmat
Karantina
yang saya lakukan selama ini membuat saya memahami banyak hal, terutama di luar
hal-hal berbau materiil. Keberkahan misalnya, keluarga saya selalu menekankan
konsep sedikit tapi berkah apalagi banyak. Doa yang selalu dipanjatkan adalah “semoga
kebutuhan kami selama di dunia selalu cukup” cukup disini diartikan ketika
butuh ada, kalau tidak butuh, tidak ada pun tidak jadi masalah. Konsep keberkahan
ini semoga selalu dapat terlaksana dalam hidup saya.
Konsep
kedua yang saya pahami adalah tingkat kepercayaan. Dulu pernah pesimis, kalau
selama covid-19 ini masih ada, kebutuhan kita tidak terpenuhi karena tidak
adanya uang. Namun sampai hari ini, tidak ada kendala yang cukup rumit masalah
kebutuhan dapur yang harus selalu mengepul. Sekarang rasa percaya bahwa
Yang Maha Kuasa akan sellau mencukupi kebutuhan hamba-Nya bagi yang mau meminta
kepada-Nya mulai meningkat tajam.
Masih
banyak hal yang dapat kita ambil pelajaran kehidupan selama corona virus
menyerang. Namun perlu berpuluh-puluh kata untuk mnyusun, perlu hati yang cukup
untuk dapat menerima dengan ikhlas. Pertanyaannya, Sudahkah kita bersyukur
kawan?
Dan
ingatlah juga tatkala Tuhan kalian memaklumatkan, “Sesungguhnya jika kalian
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian
mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S
Ibrahim ayat 7)
Posting Komentar untuk "KARANTINA: BELAJAR KEHIDUPAN MARYAM BINTI IMRON"